Konon, salah satu
pekerjaan paling mudah di dunia ini adalah menuding alias menyalahkan
orang lain di setiap kegagalan yang terjadi. Pengkambinghitaman orang
lain kerap menjadi reaksi pertama setiap kali kita melakukan
kesalahan. Terlebih kesalahan itu berefek besar terhadap kepentingan
banyak orang. Rupanya, dari hal kecil semacam dapat hasil buruk dalam
ujian matematika, hingga urusan keretakan rumah tangga, selalu ada
orang lain yang dianggap ikut andil memunculkan masalah tersebut.
Ketika angka 4 yang
tertera di atas lembar nilai ujian matematika, guru sering menjadi
alamat tudingan, “Gurunya ngajarnya nggak becus” atau “Memang
sejak lama guru matematika itu sentimen sama saya”.
Sewaktu gagal
masuk perguruan tinggi negeri, mudahnya kita berujar, “suasana
kelas tidak kondusif dan kotor. Jelas sangat mengganggu konsentrasi”.
Saat kita terlambat memberikan bahan laporan yang diminta atasan,
padahal batas waktu yang diberikan sudah lewat, komputer menjadi
sasaran. “Komputernya error terus pak”. Presentasi yang gagal dan
menyebabkan kerjasama dengan pihak lain tidak terealisasi, rekan
sekerja pun tertuding, dianggap tidak banyak membantu.
Begitu juga dalam
rumah tangga. Soal tuding menuding ini nampaknya sudah lumrah
terjadi. Anak kesayangan pulang sambil menangis dan mengaku dipukul
teman bermainnya, sang ibu pun mencak-mencak dengan sejuta makian
tanpa mau tahu siapa yang salah, dan siapa yang memulai. Bahkan
kehancuran mahligai rumah tangga pun tak jarang memunculkan orang
ketiga sebagai kambing hitamnya. Padahal bisa jadi, berbagai
kekurangan yang terlupa kita tutupi selama bertahun-tahun berumah
tangga lah yang sebenarnya menjadi penyebab utama.
Dalam kerja tim pun
demikian. Agar terhindar dari penilaian buruk atas prestasi kerja
kita, maka partner kerja pun dijadikan alasan kegagalan dalam laporan
kepada atasan. Kita lupa, bahwa kesuksesan maupun kegagalan kerja
tim, yang dinilai adalah tim itu sendiri, bukan individunya.
Kegagalan anggota tim, pasti ada andil pimpinan tim yang
menyebabkannya. Dan siapa pun yang menjadi pimpinan tim, harus siap
menanggung resiko lebih besar. Bukankah pimpinan tim juga mendapatkan
keuntungan lebih besar dari keberhasilan yang dicapai?
Cobalah telusuri lagi
setiap permasalahan yang terjadi, pasti ada celah kesalahan yang alpa
kita antisipasi dan itu benar-benar murni kesalahan kita. Masalahnya,
seringkali mata ini tertutupi oleh rasa kecewa yang begitu besar
sehingga tak mampu melihat permasalahan lebih jernih. Kalaulah kita
sudah mengantisipasi setiap inci faktor penyebab kesalahan pada diri
sendiri, jangan-jangan kita lupa mengingatkan anggota tim lainnya
untuk melakukan hal yang sama; Meminimalisir faktor kesalahan.
***
Hidup tanpa
menyalahkan atau menuding orang lain di balik kegagalan yang terjadi
semestinya dibiasakan. Sejak detik ini, dan mulai dari diri sendiri.
Jika kita mampu menerapkannya dalam diri, barulah mengajak anggota
keluarga yang lain untuk memulainya. Terus berlanjut ke lingkungan
sekitarnya untuk menularkan kebiasaan ini. Duh, indahnya
membayangkan sebuah kampung yang berisi orang-orang yang mau berunjuk
diri, dan berani mengakui kesalahan tanpa menuding orang lain.
Nikmatnya hidup di sebuah negeri yang masyarakatnya berani berdiri
paling depan untuk bertanggungjawab atas kegagalan, kekeliruan, dan
kealpaan yang terjadi. Tentu teramat bahagia jika kita sendiri yang
mau memulainya; hidup tanpa menuding. Pasti bisa.
Bayu Gawtama
yang belajar hidup
tanpa menuding
Tidak ada komentar:
Posting Komentar