Sumber Email dr teman :
Bayangkan saat hidup Anda tak
lama lagi akan berakhir. Badan sudah terbujur di pembaringan, menunggu malaikat
maut datang menjemput. Nafas tinggal satu-satu. Anak, isteri, dan para saudara
telah berkumpul mengelilingi.
Apa kira-kira yang ingin Anda
tanyakan kepada mereka sebagai pesan terakhir? Apakah tentang kesenangan dunia
yang fana? Atau, kehidupan akhirat yang abadi?
Saat Nabi Ya’qub Alaihissalam
mengalami hal ini, ia bertanya kepada anak-anaknya, maa ta’buduuna min
ba’diy (apa yang kamu sembah sepeninggalku)?”
Allah Subhanahu wa Ta’ala
menceritakan kisah ini dalam al-Qur’an:
“Apakah kamu menjadi saksi
saat maut akan menjemput Ya’kub, ketika dia berkata kepada anak-anaknya, “Apa
yang kamu sembah sepeninggalku?” Mereka menjawab, “Kami akan menyembah Tuhanmu
dan Tuhan nenek moyangmu, Ibrahim, Ismail dan Ishaq, (yaitu) Tuhan Yang Mahaesa
dan kami hanya tunduk patuh kepada-Nya”. (Al-Baqarah [2]: 133)
Nabi Ya’qub tentu lega mendengar
jawaban tegas ini. Lalu bagaimana sekiranya anak dan cucu kita ditanya hal
serupa?
Jawaban seperti itu tak bisa
diperoleh dengan gampang. Untuk mendapatkannya kita harus menanamkan bukan
semata-mata harta, tetapi juga ilmu dan amal kebaikan sejak dini kepada
keluarga.
Dikisahkan, ada seorang raja
memanggil tiga orang anaknya. Sang raja menanyakan apa yang diminta anak-anaknya
sebelum sang raja meninggal?
Anak pertama meminta harta. Maka
ia pun diberi harta.
Yang kedua meminta tahta, maka
diberilah tahta.
Tapi yang ketiga bukan meminta
harta atau tahta, melainkan ilmu. Maka diberikanlah ia ilmu.
Bagaimana kemudian nasib ketiga anak ini?
Bagaimana kemudian nasib ketiga anak ini?
Setelah sang raja meninggal,
harta yang dimiliki anak pertama tadi segera habis. Demikian pula anak yang
meminta tahta, mengalami nasib serupa. Tahta itu terlepas. Hanya anak yang
memilih ilmu yang bernasib baik. Dengan ilmunya itu ia justru mendapatkan harta
yang banyak dan tahta yang tinggi.
Tahukah siapa anak terakhir ini?
Ia adalah Nabi Sulaiman Alaihissalam, putra Nabi Daud Alaihissalam.
Tidak ada salahnya orang
mengumpulkan kekayaan untuk anak keturunan. Namun hendaknya diingat, jika itu
tidak disertai warisan ilmu dan amal kebaikan, tentu harta tersebut akan menjadi
bumerang.
Harta kekayaan tanpa ilmu dan
amal kebaikan, ibarat senjata yang tak terarah. Bisa jadi harta itu digunakan di
jalan kemaksiatan. Bila itu yang terjadi, kita tentu terkena imbas dosa yang
dilakukan anak kita.
Tapi jika kita mewariskan
kebaikan pada anak keturunan kita, maka kita juga akan memanen pahala yang
mengalir (amal jariyah) meski telah meninggal dunia.
Orang yang cita-citanya hanya
mewariskan harta, biasanya selalu berpikir, “Berapa banyak yang bisa saya
kumpulkan?”
Begitu rakusnya, ia bahkan
berharap bisa mengumpulkannya untuk tujuh turunan. Sehingga cara haram pun akan
ditempuh untuk mewujudkannya.
Sementara ia tidak mau berpikir,
“Berapa banyak yang bisa saya berikan?” Ini karena ia tidak punya kemauan
beramal kebaikan. Kalau pun ia beramal, mungkin dari hasil haram yang hakekatnya
bukanlah amal kebaikan karena sekadar untuk menutupi kejahatannya.
Akibatnya, saat ia meninggal, mungkin banyak harta yang diwariskan. Namun, jusru anak keturunannya bertengkar karena memperebutkan warisan itu.
Akibatnya, saat ia meninggal, mungkin banyak harta yang diwariskan. Namun, jusru anak keturunannya bertengkar karena memperebutkan warisan itu.
Sungguh kasihan orang seperti
ini. Ia bekerja keras sepanjang waktu, namun setelah harta terkumpul, justru
menjadi sumber fitnah. Jangan berharap pahala terus mengalir ketika kita sudah
berada di alam kubur, justru aliran dosa tak bisa terbendung akibat tidak
meninggalkan warisan kebaikan.
Karena itu, di samping harta
dunia yang halal, kita harus mewariskan ilmu dan amal pada anak-anak kita. Harta
yang banyak akan membawa kebahagiaan jika disertai dengan ilmu dan amal. Jangan
sampai warisan harta yang banyak justru memakan korban tuannya sendiri.
Hazrat Ali berkata :
“Pengetahuan itu lebih baik dari kekayaan. Anda harus menjaga kekayaan.
Pengetahuan akan menjaga anda.”
Estafet Kebajikan
Suatu hari seorang cucu melihat
kakeknya yang sudah tua, tertatih menanam bibit kelapa. Ia pun bertanya,
“Bukankah kelapa yang kakek tanam hanya akan bisa berbuah setelah lama sekali?
Mungkin kakek sendiri tidak pernah ikut memetiknya. Mengapa kakek masih juga
menanamnya?”
Sang kakek menjawab dengan
lembut, “Cucuku! Mungkin saja kakek sudah mati lebih dulu sebelum menikmati
hasil tanaman kelapa ini. Tapi, bukankah kita bisa menikmati buah kelapa saat
ini karena ditanam para orang tua kita dahulu yang saat ini sudah tiada? Maka
kita juga harus rela menanam untuk anak cucu meski kita tak sempat
menikmatinya.”
Secara fitrah, setiap orang tua
memang ingin generasi pelanjutnya hidup berkecukupan. Bahkan harapannya, anak
keturunannya itu bisa hidup lebih baik dan lebih mulia dari dirinya. Dengan
harta peninggalan itulah anak-anak diharapkan akan bisa hidup dalam
kemudahan.
Kita sendiri bisa menikmati hidup ini karena jasa orang tua kita dahulu. Hanya orang egois yang menyimpang dari fitrahnya saja tidak memikirkan keturunannya. Betapa berdosanya kita jika meninggalkan generasi yang lemah dan miskin.
Kita sendiri bisa menikmati hidup ini karena jasa orang tua kita dahulu. Hanya orang egois yang menyimpang dari fitrahnya saja tidak memikirkan keturunannya. Betapa berdosanya kita jika meninggalkan generasi yang lemah dan miskin.
Harta Halal
Bila mendengar kata ‘warisan’,
yang sering terbayang di benak kita adalah peninggalan harta kekayaan orang tua
yang telah meninggal untuk anak-anaknya. Bentuknya bisa berupa uang, perhiasan,
rumah, tanah, atau surat-surat berharga.
Memang anak keturunan kita
membutuhkan pangan, sandang, dan tempat tinggal yang memadai. Jika anak-anak
ditinggalkan dalam keadaan miskin tentu sulit meraih kesejahteraan. Bila sekadar
makan sendiri saja tak sanggup memenuhinya, bagaimana bisa ia memberi manfaat
kepada orang lain? Bisa jadi malah menjadi beban orang lain.
Karena itulah, kita jangan
menghabiskan kekayaan dengan berfoya-foya untuk dinikmati sendiri saja, tetapi
harus menyiapkan juga untuk anak cucu kita warisan yang membuat mereka bisa
bermanfaat bagi sesamanya.
Sudah tentu hanya warisan harta
halal yang bisa memberikan manfaat yang hakiki kepada manusia. Sementara harta
warisan haram hanya akan menimbulkan masalah bagi anak keturunan di kemudian
hari.
Allah Ta’ala berfirman:
Dan hendaklah takut kepada Allah
orang-orang yang seandainya meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah,
yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah
mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang
benar. (An-Nisa’ [4]: 9) Wallahu a’lamu
bish-Shawab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar