Pages

Jumat, 20 Juli 2012

Apa Yang Akan Anda Wariskan

Sumber Email dr teman :
Bayangkan saat hidup Anda tak lama lagi akan berakhir. Badan sudah terbujur di pembaringan, menunggu malaikat maut datang menjemput. Nafas tinggal satu-satu. Anak, isteri, dan para saudara telah berkumpul mengelilingi.
Apa kira-kira yang ingin Anda tanyakan kepada mereka sebagai pesan terakhir? Apakah tentang kesenangan dunia yang fana? Atau, kehidupan akhirat yang abadi?
Saat Nabi Ya’qub Alaihissalam mengalami hal ini, ia bertanya kepada anak-anaknya, maa ta’buduuna min ba’diy (apa yang kamu sembah sepeninggalku)?”
Allah Subhanahu wa Ta’ala menceritakan kisah ini dalam al-Qur’an:
Apakah kamu menjadi saksi saat maut akan menjemput Ya’kub, ketika dia berkata kepada anak-anaknya, “Apa yang kamu sembah sepeninggalku?” Mereka menjawab, “Kami akan menyembah Tuhanmu dan Tuhan nenek moyangmu, Ibrahim, Ismail dan Ishaq, (yaitu) Tuhan Yang Mahaesa dan kami hanya tunduk patuh kepada-Nya”. (Al-Baqarah [2]: 133)
Nabi Ya’qub tentu lega mendengar jawaban tegas ini. Lalu bagaimana sekiranya anak dan cucu kita ditanya hal serupa?
Jawaban seperti itu tak bisa diperoleh dengan gampang. Untuk mendapatkannya kita harus menanamkan bukan semata-mata harta, tetapi juga ilmu dan amal kebaikan sejak dini kepada keluarga.
Dikisahkan, ada seorang raja memanggil tiga orang anaknya. Sang raja menanyakan apa yang diminta anak-anaknya sebelum sang raja meninggal?
Anak pertama meminta harta. Maka ia pun diberi harta.
Yang kedua meminta tahta, maka diberilah tahta.
Tapi yang ketiga bukan meminta harta atau tahta, melainkan ilmu. Maka diberikanlah ia ilmu.
Bagaimana kemudian nasib ketiga anak ini?
Setelah sang raja meninggal, harta yang dimiliki anak pertama tadi segera habis. Demikian pula anak yang meminta tahta, mengalami nasib serupa. Tahta itu terlepas. Hanya anak yang memilih ilmu yang bernasib baik. Dengan ilmunya itu ia justru mendapatkan harta yang banyak dan tahta yang tinggi.
Tahukah siapa anak terakhir ini? Ia adalah Nabi Sulaiman Alaihissalam, putra Nabi Daud Alaihissalam.
Tidak ada salahnya orang mengumpulkan kekayaan untuk anak keturunan. Namun hendaknya diingat, jika itu tidak disertai warisan ilmu dan amal kebaikan, tentu harta tersebut akan menjadi bumerang.
Harta kekayaan tanpa ilmu dan amal kebaikan, ibarat senjata yang tak terarah. Bisa jadi harta itu digunakan di jalan kemaksiatan. Bila itu yang terjadi, kita tentu terkena imbas dosa yang dilakukan anak kita.
Tapi jika kita mewariskan kebaikan pada anak keturunan kita, maka kita juga akan memanen pahala yang mengalir (amal jariyah) meski telah meninggal dunia.
Orang yang cita-citanya hanya mewariskan harta, biasanya selalu berpikir, “Berapa banyak yang bisa saya kumpulkan?”
Begitu rakusnya, ia bahkan berharap bisa mengumpulkannya untuk tujuh turunan. Sehingga cara haram pun akan ditempuh untuk mewujudkannya.
Sementara ia tidak mau berpikir, “Berapa banyak yang bisa saya berikan?” Ini karena ia tidak punya kemauan beramal kebaikan. Kalau pun ia beramal, mungkin dari hasil haram yang hakekatnya bukanlah amal kebaikan karena sekadar untuk menutupi kejahatannya.
Akibatnya, saat ia meninggal, mungkin banyak harta yang diwariskan. Namun, jusru anak keturunannya bertengkar karena memperebutkan warisan itu.
Sungguh kasihan orang seperti ini. Ia bekerja keras sepanjang waktu, namun setelah harta terkumpul, justru menjadi sumber fitnah. Jangan berharap pahala terus mengalir ketika kita sudah berada di alam kubur, justru aliran dosa tak bisa terbendung akibat tidak meninggalkan warisan kebaikan.
Karena itu, di samping harta dunia yang halal, kita harus mewariskan ilmu dan amal pada anak-anak kita. Harta yang banyak akan membawa kebahagiaan jika disertai dengan ilmu dan amal. Jangan sampai warisan harta yang banyak justru memakan korban tuannya sendiri.
Hazrat Ali berkata : “Pengetahuan itu lebih baik dari kekayaan. Anda harus menjaga kekayaan. Pengetahuan akan menjaga anda.”
Estafet Kebajikan
Suatu hari seorang cucu melihat kakeknya yang sudah tua, tertatih menanam bibit kelapa. Ia pun bertanya, “Bukankah kelapa yang kakek tanam hanya akan bisa berbuah setelah lama sekali? Mungkin kakek sendiri tidak pernah ikut memetiknya. Mengapa kakek masih juga menanamnya?”
Sang kakek menjawab dengan lembut, “Cucuku! Mungkin saja kakek sudah mati lebih dulu sebelum menikmati hasil tanaman kelapa ini. Tapi, bukankah kita bisa menikmati buah kelapa saat ini karena ditanam para orang tua kita dahulu yang saat ini sudah tiada? Maka kita juga harus rela menanam untuk anak cucu meski kita tak sempat menikmatinya.”
Secara fitrah, setiap orang tua memang ingin generasi pelanjutnya hidup berkecukupan. Bahkan harapannya, anak keturunannya itu bisa hidup lebih baik dan lebih mulia dari dirinya. Dengan harta peninggalan itulah anak-anak diharapkan akan bisa hidup dalam kemudahan.
Kita sendiri bisa menikmati hidup ini karena jasa orang tua kita dahulu. Hanya orang egois yang menyimpang dari fitrahnya saja tidak memikirkan keturunannya. Betapa berdosanya kita jika meninggalkan generasi yang lemah dan miskin.
Harta Halal
Bila mendengar kata ‘warisan’, yang sering terbayang di benak kita adalah peninggalan harta kekayaan orang tua yang telah meninggal untuk anak-anaknya. Bentuknya bisa berupa uang, perhiasan, rumah, tanah, atau surat-surat berharga.
Memang anak keturunan kita membutuhkan pangan, sandang, dan tempat tinggal yang memadai. Jika anak-anak ditinggalkan dalam keadaan miskin tentu sulit meraih kesejahteraan. Bila sekadar makan sendiri saja tak sanggup memenuhinya, bagaimana bisa ia memberi manfaat kepada orang lain? Bisa jadi malah menjadi beban orang lain.
Karena itulah, kita jangan menghabiskan kekayaan dengan berfoya-foya untuk dinikmati sendiri saja, tetapi harus menyiapkan juga untuk anak cucu kita warisan yang membuat mereka bisa bermanfaat bagi sesamanya.
Sudah tentu hanya warisan harta halal yang bisa memberikan manfaat yang hakiki kepada manusia. Sementara harta warisan haram hanya akan menimbulkan masalah bagi anak keturunan di kemudian hari.
Allah Ta’ala berfirman:
Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar. (An-Nisa’ [4]: 9) Wallahu a’lamu bish-Shawab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar