Oleh
: Bayu Gawtama
Senin siang, isteri
saya mengirim pesan singkat, “Iqna sakit, badannya panas”.
Kemudian saya membalasnya, “sudah minum obat? Satu jam lagi kasih
kabar ya…”
Tak ada kabar lagi
sampai lewat satu jam, saya berpikir Iqna –putri kedua saya- pasti
sudah diberi obat penurun panas. Jadi saya agak sedikit tenang dan
tetap melanjutkan pekerjaan di kantor. Namun menjelang ashar, sebuah
SMS masuk lagi, “suhunya masih tinggi, belum turun”.
Saya pun bergegas
pamit menuju rumah. Iqna harus segera dibawa ke dokter untuk
mendapatkan pemeriksaan lebih lanjut. Motor pun terpacu lumayan
cepat, jarak antara rumah dan kantor yang biasanya
memakan waktu
hingga 30 menit saya buat kurang dari 25 menit. Adrenalin sedikit
meningkat, mungkin karena pacuan motor yang meningkat, ditambah
pikiran saya terus kepada Iqna yang sedang sakit.
Sesampainya di rumah,
saya sedikit tenang. Sebab, si sakit yang membuat saya memacu cepat
motor sedang asik bermain boneka. Tidak seperti yang saya bayangkan
beberapa menit sebelumnya, bahwa ia sedang terkulai lemah di tempat
tidurnya. Begitu masuk dan mengucapkan salam, ia pula yang pertama
membalas salam saya dan memperlihatkan barisan gigi-gigi putihnya.
Saya segera menyentuh tubuhnya, dan, panasnya sudah turun.
Alhamdulillah.
Tetapi entah kenapa,
sejak siang di kantor hati ini terasa berbeda. Ada gusar, gelisah dan
keresahan yang menyelimuti diri ini sepanjang hari. Sampai selepas
maghrib, segenap rasa tak nyaman itu tetap tak mau pergi meskipun
saya sudah mencoba menenangkannya dengan membaca ayat-ayat al quran.
Malam terus bergulir,
waktu sudah menunjukkan pukul 23.30 WIB, namun mata ini belum mau
terpejam. Tentu karena hati ini pun masih gundah, belum tenang dan
belum mau diajak istirahat. Saya terus memikirkan gerangan apa yang
membuat saya merasa seperti ini. Mungkin pekerjaan di kantor yang
belum selesai? Atau beberapa tagihan yang belum terbayarkan? Ah,
bukan, pasti bukan itu.
Akhirnya, entah jam
berapa saya tak sadar sudah terlelap. Namun tak berapa lama, sekitar
pukul tiga dini hari saya kembali terbangun. Masih saja semua rasa
tak nyaman itu masih menggelayuti hati. Saya pun berwudhu, menghadap
Allah bersujud kepada-Nya. Tidak cukup tenang, saya pun
melanjutkannya dengan tilawah quran. Beberapa lembar terbaca, hati
pun terasa sedikit lega.
Waktu sudah beranjak
ke pukul empat dini hari. Empat puluh lima menit lagi adzan subuh,
tetapi masih ada yang terasa mengganjal di hati ini. Tiba-tiba,
isteri saya menyodorkan telepon genggam, “Telepon Mama bi, mungkin
Mama kangen”.
Ya Allah, saya
istighfar berkali-kali. Mungkin ini yang diinginkan Allah dari saya,
berbicara dengan ibu meski sebentar saja akan menenangkan jiwa.
Sekarang baru pukul empat pagi, waktu yang tepat berbicara dengannya.
Saya tahu ia tak pernah absen sholat malam lengkap dengan doa-doa
untuk semua anaknya.
“Assalaamu’alaikum
ma…” baru saja suara saya menyapanya. Ibu langsung berkata,
“Wa’alaikum salam, mama tahu kamu akan telepon. Mama baru saja
membayangkan wajah kamu di sholat mama. Mama minta sama Allah, kamu,
juga anak-anak mama yang lain diberi kekuatan oleh Allah dalam
menjalani hidup”
“Ma…” belum
selesai kalimat saya, ibu memotongnya, “Kamu kangen mama kan?
Makanya kamu telepon mama pagi-pagi begini” Ia seperti sudah tahu
perasaan berat yang terpendam, yang selama seharian membuat hati tak
tenang. Terima kasih ya Allah, masih Kau beri saya kesempatan
menyapanya pagi ini.
“Kapan mau ke
rumah?” Duh ibu, saya belum bisa berjanji. Malu rasanya, ibu bisa
menembus jarak dan waktu setiap kali ia merasa rindu kepada
anak-anaknya. Setiap detik waktunya terisi sebongkah rindu. Setiap
hela nafasnya, menyebut nama orang-orang yang dicintainya. Dan di
setiap pintanya kepada Allah di pertiga malam, nama anaknya lah yang
tak pernah alpa disebut.
Sedangkan saya, rindu
ini sering terhalang jarak dan waktu. Kesibukan pekerjaan sering
membuat saya lupa mengeja namanya. Dan kecintaan saya kepada isteri
dan anak-anak, kadang menyamarkan wajah teduhnya yang dilukis Allah
dengan tinta cinta. Saya yakin, setiap tetes darahnya mengalir
butiran-butiran kasih yang tak pernah sebanding dengan mutiara
termahal di dunia mana pun.
Dalam tidur dan
terjaganya, ia selalu menanti sapa sayang anak-anaknya yang sering
kali berbuah hampa. “Maaf ma…” Tetapi seolah telunjuk ibu
menutup rapat bibir ini agar tak melanjutkan kata. “Ssstt…
anak-anak tidak pernah salah di mata mama. Mama tunggu akhir pekan
ya, jangan lupa bawa cucu-cucu mama ya…”.
Telepon pun ditutup,
bersama dengan turunnya hujan, ketenangan pun hinggap merayapi hati
ini. Suara adzan subuh sayup-sayup membelah keheningan pagi. “Terima
kasih Allah…”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar