Sabtu, 30 April
2011 pukul 08:26:00
Oleh Prof Dr
Yunahar Ilyas
Beberapa kali
Abdurrahman bin Auf menyaksikan Umar shalat sunah di rumahnya. Yang
menarik perhatiannya, bukanlah tata cara shalatnya, melainkan sajadah
yang biasa digunakan Umar. Seorang kepala kegara dengan wilayah
kekuasaan yang membentang luas sampai Mesir, berhasil mengalahkan dua
imperium besar, Romawi Timur dan Persia, justru shalat di atas
sajadah yang usang. Timbul rasa bersalah dalam hati Abdurrahman. Ia
ingin membelikan sajadah baru yang mahal dan indah untuk sang Amirul
Mukminin.
Tetapi, Abdurrahman
ragu, apakah Umar mau menerimanya. Dia tahu persis watak Umar yang
tidak mau
diberi hadiah apa pun walau hanya selembar sajadah.
Abdurrahman akhirnya
memberikan sebuah sajadah melalui istri Umar, Ummu Abdillah. Melihat
sajadah baru, Umar memanggil istrinya dan menanyakan siapa yang
memberi sajadah ini. "Abdurrahman bin Auf," jawab istrinya.
"Kembalikan sajadah ini kepada Abdurrahman. Saya sudah cukup
puas dengan sajadah yang saya miliki." Begitulah watak Umar bin
Khattab. Tidak hanya adil dan bijaksana, beliau dikenal dengan sifat
zuhudnya, hidup sederhana. Tidak hanya untuk ukuran seorang kepala
negara, bahkan bagi orang biasa sekalipun.
Suatu hari, Umar
melakukan perjalanan dinas mengunjungi satu provinsi yang berada di
bawah kekuasaannya. Gubernur menjamu Umar makan malam dengan jamuan
yang istimewa, sebagaimana lazimnya perjamuan untuk kepala negara.
Begitu duduk di depan meja hidangan, Umar kemudian bertanya kepada
sang gubernur, "Apakah hidangan ini adalah makanan yang
biasa dinikmati oleh seluruh rakyatmu?"
Dengan gugup, sang
gubernur menjawab, "Tentu tidak, wahai Amirul Mukmini. Ini
adalah hidangan istimewa untuk menghormati baginda." Umar lantas
berdiri dan bersuara keras, "Demi Allah, saya ingin
menjadi orang terakhir yang menikmatinya. Setelah seluruh rakyat
dapat menikmati hidangan seperti ini, baru saya akan memakannya."
Itulah sifat Umar bin Khattab, seorang kepala negara yang zuhud.
Di lain kesempatan,
sehabis shalat Zhuhur, Umar meminta selembar permadani Persia yang
indah untuk dibawa pulang ke rumahnya. Tentu saja, hal ini membuat
para sahabat heran. Hari itu, Umar bin Khattab membagi harta rampasan
perang yang dibawa oleh pasukan Sa'ad bin Abi Waqqash yang berhasil
menaklukkan Kota Madain, ibu kota imperium Persia.
Pakaian kebesaran
Kisra lengkap dengan mahkotanya diberikan oleh Umar kepada seorang
Badui yang kemudian memakainya dengan gembira. Satu demi satu
barang-barang berharga dibagi-bagikan oleh Umar kepada para sahabat
dan masyarakat banyak waktu itu. Yang tersisa hanya selembar
permadani indah. Umar pun memintanya. "Bagaimana pendapat
kalian, jika permadani ini aku bawa pulang ke rumahku?" Gembira
bercampur kaget, para sahabat tergopoh-gopoh menyetujuinya. "Tentu
saja wahai Amirul Mukminin, kami setuju sekali Anda membawanya
pulang."
Ketika tiba waktu
Ashar, Umar membawa kembali permadani tersebut. Kali ini, permadani
itu sudah dipotong-potong menjadi bagian kecil-kecil, dan Umar
membagikan kepada beberapa sahabatnya. Dengan senyum, Umar berkata,
"Hampir saja saya tergoda oleh permadani indah ini." Masya
Allah, begitulah Umar, sang kepala negara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar